Jumat, 24 Februari 2012

KITA & JAHILIYAH MODERN

Mungkin jahiliyahialah kata terpopuler terkait riwayat hidup Nabi Muhammad SAW. Kata dalam Bahasa Arab ini menjadi titik tolak kiprah Sang Revolusioner Sejati dambaan semua manusia itu. Sejak kanak-kanak dahulu hingga kini kata tersebut seakan sudah mengendap di memori kebanyakan dari kita. Namun, tahukah kita hakikat kata tersebut?

Makna Jahiliyah

Pada dasarnya kata jahiliyah kerap kali dihubungkan dengan jahil, yang berarti bodoh atau kebodohan. Tentu jahiliyah yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan hadits tak berhenti pada definisi ini. Sebagaimana kata “shalat” yang asalnya bermakna “doa”, kemudian memiliki definisi dalam konsep Islam sebagai berikut: “serangkaian ibadah kepada Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tata caranya sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW”. Demikian pula banyak kata lain seperti zakat, iman, kufur, dan lain-lain.

Lalu, apa dan bagaimana sebenarnya karakteristik jahiliyah itu? Berikut beberapa pengertian jahiliyah yang dimaksud dalam terminologi Islam (dikutip dari www.alsofwah.or.id) :

1. Tidak Mengetahui Hakikat Ilahiyah

Inilah konsep jahiliyah paling kentara. Dimana kebodohan yang dimaksud ialah ketidaktahuan tentang kepada siapa dan bagaimana kita beribadah. Masyarakat Quraisy era awal kenabian bukanlah yang tak tahu siapa Ilah (sembahan) mereka, tetapi mereka salah dalam tataran teknis beribadah kepada Allah SWT. Artinya, sebenarnya benih tauhid peninggalan Nabi Ibrahim AS sebenarnya masih ada. Perbuatan taklid buta seorang pemimpin Bani Khuza’ah bernama Amr bin Luhay kemudian membawa bangsa Arab menyembah berhala-berhala bernama Hubal, Manat, Uzza, dan lain-lain (Al-Mubarakfuri, 1414 H). Syeikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri menambahkan bahwa penyimpangan mereka dalam hal ini tak hanya dari sisi ibadah ritual. Mereka juga sangat percaya kepada ath-thiyarah, yaitu meramal sesuatu dengan perantara burung atau biri-biri. Ini dilakukan saat akan menentukan satu di antara dua atau lebih pilihan. Padahal Allah SWT yang memiliki kuasa menunjukkan mana yang lebih baik untuk kita. Miskonsepsi tentang Ilahiyah ini pula yang pernah menjangkiti kaum Nabi Musa AS (Baca QS Al-A’raf: 138).

2. Terjebak pada Perbuatan Menyalahi Perintah Allah dan Hal yang Diharamkan

Pengertian tentang ini bisa kita simpulkan dari QS Yusuf: 33. Singkatnya, kaum jahiliyah masa itu banyak menyelisihi apa yang Allah perintahkan sambil asyik berbuat yang telah diharamkan-Nya. Contoh sederhananya ialah membunuh anak perempuan. Ini sudah menjadi tradisi di masa itu. Bahkan Umar bin Khathab pernah pula melakukannya sebelum masuk Islam. Hingga kemudian ini paham ini diberantas dengan konsep memuliakan perempuan yang Islam bawa.

3. Berhias dan Bertingkah Laku Menyalahi Perintah Allah.

Ketika Allah SWT memerintahkan kesederhanaan serta tingkah laku yang mulia, masyarakat jahiliyah justru saling menyombongkan antar sesama kaum berada. Tak segan pula mereka menindas rakyat kecil jika mereka tidak menyukainya. Firman Allah dalam QS Al-Ahzab: 33 menyiratkan jahiliyah dalam pengertian seperti ini.

4. Berhukum dengan Selain Hukum Allah

Tentu hukum yang dimaksud di sini tak hanya dalam tataran pemerintahan saja. Ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai kejujuran, keadilan, kemanusiaan, dan lain-lain yang sudah menjadi standar universal juga masuk kategori ini. Kebanyakan apa yang mereka putuskan hanya berdasarkan asas “siapa yang kuat, dia yang menang”. Mereka tak hiraukan lagi hukum yang telah diwariskan Nabi Ibrahim AS Kita bisa menyimpulkan hal ini dari QS Al-Maidah: 50.

Namun demikian, Syeikh Al-Mubarakfuri tak memungkiri banyak pula masyarakat jahiliyah kala itu yang masih memiliki beberapa sikap hidup positif. Di antara akhlaq tersebut ialah kedermawanan, memenuhi janji, pantang mundur, keberanian, dan lain-lain. Sehingga, memang sepertinya fokus utama makna jahiliyah lebih cocok dititikberatkan pada poin pertama. Artinya, meskipun masih ada sebagian yang mempraktekkan akhlaq terpuji, pandangan tentang konsep ibadah kepada Allah SWT yang salah kemudian membawa mereka kepada banyak kesalahan lain.

Jahiliyah Modern?

Melihat pengertian jahiliyah di atas, banyak orang kemudian menyebut saat ini pun kita masih berada dalam zaman jahiliyah. Lebih tepatnya yaitu “jahiliyah modern”. Bolehlah kita tak setuju tentang istilah ini. Namun, yang terpentingnya ialah bagaimana kita seharusnya menyikapi keadaan saat ini.

Muhammad Quthb dalam bukunya, Jahiliyatul Qarnil ‘Isyrin (Jahiliyah Abad 20), menyimpulkan bahwa jahiliyah modern merupakan ringkasan dari segala bentuk kejahiliyahan masa silam dengan tambahan aksesori di sana-sini sesuai dengan perkembangan zaman. Sikap jahiliyah modern tidak timbul secara mendadak melainkan telah melalui kurun waktu panjang (www.unhas.ac.id).

Sebagaimana bisa kita saksikan, memang kita tak bisa mengelak bahwa dunia ini belum bisa lepas dari cengkeraman jahiliyah secara total. Masih terlalu banyak sisi kehidupan yang belum tercelup dengan keagungan Islam. Di balik makin gencarnya syi’ar Islam, musuh-musuh Islam pun getol menghembuskan paham jahiliyah modern ini. Dengan kemasan elegan dan modern banyak kaum Muslimin yang tergiur mencicipinya. Tentu setelah mencicipi, yang terjadi bukan berhenti setelahnya, tetapi justru ketagihan.

Aksi Kita

Mengetahui masih berlangsungnya periode jahiliyah lanjutan ini, hendaknya kita tak tinggal diam. Kita harus mencontoh spirit dan tindakan yang Rasulullah SAW lakukan kala itu. Tentu beberapa penyesuaian juga perlu kita lakukan dalam aksi yang akan kita lakukan. Namun, pondasi prinsip perbaikan yang kita lakukan harus tetap berpijak pada Nabi Muhammad SAW. 

Contohnya, jika Rasulullah saat itu memulai dakwah dengan pemurnian tauhid, maka kita pun patut contoh beliau. Paham atheis, sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), materialis, dan paham lain yang mencederai Islam harus jadi konsentrasi kita. Ketika pemikiran kita sudah baik, maka tindakan Insya Allah akan baik pula. Demikian yang Dr. Wan Nor Muh. Dawud pernah ungkapkan. Rasulullah SAW juga pernah mensinyalir hal ini dalam beberapa sabdanya. Artinya, di sini posisi keyakinan dan pemikiran harus terus sejalan dengan apa yang Islam telah ajarkan.

Kemudian, upaya pembinaan generasi muda juga telah Rasulullah SAW contohkan. Tak heran jika kemudian muncul sosok seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin ‘Abbas, Mush’ab bin Umair, Khalid bin Walid, dan banyak sahabat Nabi SAW yang mencapai kematangan spiritual di usia muda. Kematangan mereka merupakan kematangan paripurna di berbagai sisi kehidupan. Mereka pun menjadi motor penggerak utama yang siap membantu dakwah Rasulullah. Oleh karenanya, semboyan “Pemuda saat ini adalah pemimpin masa mendatang” harus kita pegang kuat-kuat jika menginginkan risalah Islam tetap langgeng.

Selanjutnya, misi memulihkan kepercayaan manusia kepada Islam sebagai solusi juga penting. Rasulullah SAW sadar bahwa walaupun Islam di Madinah waktu itu sudah lebih baik daripada saat masa jahiliyah di Mekah. Namun, beliau tak lupa bahwa beliau diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Artinya kedatangan beliau dengan risalahnya harus pula dirasakan dampaknya oleh selain umat Islam. Akibatnya, kehidupan damai beserta kaum lain agama pun tercipta kala itu. Beliau sebagai pimpinan tak semena-mena dan kaum non Muslim pun segan hormat terhadap beliau dan Islam. Wajar pula jika kemudian banyak bangsa lain memilih “ditaklukkan” kaum Muslimin daripada di bawah pemerintahan kaum lain yang zhalim. Ini memberi pelajaran kepada kita semua bahwa kita pun selayaknya memiliki tujuan ke arah sana. Ketika semua manusia belum bisa menerima Islam sebagai diin, maka kita harus bisa yakinkan bahwa sebenarnya mereka membutuhkan Islam. Akhirnya, ketika perasaan itu telah tumbuh subur pintu keluar dari jahiliyah model apa pun semakin dekat.

Terinspirasi dari buku Sirah Nabawiyah karya Syeikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2012/02/18902/kita-jahiliyah-modern/#ixzz1nLrS92yW

BERANGGAPAN SIAL, BERBAU SYIRIK

Segala puji bagi Allah tiada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kita paling mendengar ada yang beranggapan sial dengan nama anaknya. Buktinya, ketika anaknya di usia belia sakit-sakitan, maka ada yang beranggapan sial bahwa itu karena namanya yang terlalu berat. Ada juga yang menganggap bahwa karena salah nama, anaknya jadi bandel. Intinya, nama anak akhirnya yang disalahkan.

Beranggapan sial bukan hanya seperti di atas, banyak contohnya. Ujung-ujungnya beranggapan sial itu mengarah pada kesyirikan.

Memahami Thiyaroh atau Tathoyyur

Pembahasan beranggapan sial ini dalam bahasan akidah diistilahkan dengan thiyaroh atau tathoyyur. Thiyaroh berasal dari kata burung, artinya dahulu orang Arab Jahiliyah ketika memutuskan melakukan safar, mereka memutuskan dengan melihat pergerakan burung. Jika burung tersebut bergerak ke kanan, maka itu tanda perjalanannya akan baik. Jika burung tersebut bergerak ke kiri, maka itu tanda mereka harus mengurungkan melakukan safar karena bisa jadi terjadi musibah ketika di jalan.

Namun maksud thiyaroh di sini adalah umum, bukan hanya dengan burung saja. Thiyaroh adalah beranggapan sial ketika tertimpanya suatu musibah pada sesuatu yang bukan merupakan sebab dilihat dari sisi syar’i atau inderawi, baik itu dengan orang, dengan benda tertentu, dengan tumbuhan, dengan waktu, dengan angka tertentu atau dengan tempat tertentu.

Contoh dari thiyaroh atau beranggapan sial :

1. Menganggap anak sakit-sakitan karena nama yang terlalu berat diemban sehingga harus ada penggantian nama.

2. Mengganggap datangnya musibah itu karena si A yang baru datang ke kampung, sebelumnya tidak pernah terjadi. Sebagaimana dahulu Fir’aun beranggapan datangnya bencana gara-gara Nabi Musa ‘alaihis salam.

3. Menganggap bulan Suro atau bulan Muharram adalah bulan keramat sehingga tidak boleh mengadakan hajatan, walimahan atau acara besar lainnya.

4. Jika lewat di depan kuburan, selalu sial dan sering melihat hantu gentayangan.

5. Anggapan sial dengan angka 13.

Thiyaroh Termasuk Akidah Jahiliyah

Beranggapan sial atau thiyaroh termasuk akidah jahiliyah. Bahkan sudah ada di masa sebelum Islam. Lihatlah bagaimana Fir’aun beranggapan sial pada Musa ‘alaihis salam dan pengikutnya. Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun ketika datang berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri, tanpa menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131).

Kesialan yang dianggap sesungguhnya tidaklah benar. Yang shahih, Musa dan orang beriman sebagai pengikutnya adalah sebab datangnya kebaikan dan barokah. Karena para Rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam membuat perbaikan di muka bumi dengan ketaatan yang mereka perbuat, sehingga turunlah barokah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al A’raf: 96). Dan sebenarnya sebab datangnya musibah adalah karena pembakangan ahli maksiat, orang musyrik dan kafir, bukan dari orang beriman.

Kesialan dan bencana sebenarnya karena kekurang ajaran orang kafir itu sendiri. Sebagaimana hal ini dapat kita ambil pelajaran dari surat Yasin tentang kisah penduduk negeri yang mendustakan dua sampai tiga utusan Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang diutus kepadamu". Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka". Mereka berkata: "Rabb kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu". 

Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami". Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? 

Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas".” (QS. Yasin: 13-19). Penduduk negeri tersebut menganggap nasib sial menimpa mereka karena kedatangan para utusan tersebut. Namun hal itu dibantah oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala nyatakan sendiri bahwa kesialan itu karena sebab pembangkangan penduduk itu sendiri.

Begitu pula orang-orang musyrik pernah menganggap datangnya nasib malang, itu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".” (QS. An Nisa’: 78).

Larangan Thiyaroh

Thiyaroh atau beranggapan sial termasuk kesyirikan sebagaimana dinyatakan dalam hadits. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no. 2220). Dalam hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada tempat dan waktu tertentu seperti pada bulan Shafar. Di negeri kita yang terkenal adalah beranggapan sial dengan bulan Suro, maka itu pun sama terlarangnya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” “Kalimat yang baik (thoyyib)”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 5776 dan Muslim no. 2224)

Apa beda al fa’lu dan thiyaroh? Al fa’lu adalah berangan kebaikan. Sedangkan thiyaroh adalah berperasaan akan datangnya keburukan. Berangan datangnya kebaikan adalah suatu anjuran karena hal ini termasuk husnu zhon (berprasangka baik) pada Allah. Contoh fa’lu adalah ketika kita mendengar ucapan-ucapan yang baik, maka cerialah hati kita. Atau kita melihat seorang yang tampil menawan hati, kita pun menjadi tenang, tanda mengharap kebaikan dan husnu zhon pada Allah. Fa’lu termasuk perkara yang baik. Dari sinilah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam takjub. Ketika mendengar nama atau ucapan yang baik atau berlalu di tempat kebaikan, hati menjadi tenang, dan tanda husnu zhon pada Allah. Demikian penjelasan Syaikhuna, Dr. Sholeh Al Fauzan dalam I’anatul Mustafid.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia menyebutkan hadits secara marfu’ –sampai kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”. Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3910 dan Ibnu Majah no. 3538. 

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa thiyaroh atau beranggapan sial termasuk bentuk syirik. Kesyirikan dalam masalah thiyaroh ini bisa dirinci menjadi dua:

1. Jika menganggap bahwa yang mendatangkan manfaat dan mudhorot adalah makhluk, ini syirik akbar.

2. Jika menganggap bahwa yang memberi manfaat atau mudhorot hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini termasuk syirik ashgor.

Catatan : Tidak setiap anggapan jelek itu terlarang. Ada anggapan jelek yang masih dibolehkan selama ada sebab yang syar’i atau hissiy (inderawi). Seperti misalnya kita sudah mengetahui gerak-gerik si pencuri, dan kita berprasangka jelek padanya, maka ini ada bukti atau sebab, sehingga prasangka jelek ini tidak bermasalah.

Kuncinya Tawakkal

Anggapan sial mengurangi tauhid seorang muslim dan dinilai syirik. Penilaian syirik ini dilihat dari beberapa sisi: (1) bergantung pada sesuatu yang bukan sebab secara hakiki, (2) memutuskan suatu kejadian seakan-akan menentang takdir Allah, dan (3) mengurangi tauhid. Untuk menghilangkan persangkaan sial di sini hanyalah dengan tawakkal. Karena tawakkal terdapat ketergantungan hati pada Allah. Hadits yang telah lewat disebutkan, “Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal”.

Penulis Fathul Madjid (335) berkata, “Akan tetapi jika kita bertawakkal pada Allah dalam meraih maslahat dan menolak mudhorot, maka was-was untuk beranggapan sial akan hilang dengan izin Allah.”

Syaikh Sholeh Al Fauzan berkata, “Penyembuh dari beranggapan sial adalah dengan bertawakkal pada Allah. Kemudian meninggalkan anggapan sial dan tidak memiliki keraguan lagi dalam hati.” Ini perkataan beliau dalam I’anatul Mustafid (2: 16).

Ingatlah pelajaran dari firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).

Jangan menuduh kesialan itu pada tanggal, hari, angka, bulan, tempat atau nama anak. Buang jauh-jauh anggapan sial dan ganti dengan tawakkal pada Allah Ta’ala.  Ketika mendapatkan hal yang tidak mengenakkan, ucapkanlah:


اللَّهُمَّ لاَ يَأْتِى بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ


[Allahumma laa ya’ti bilhasanaati illa anta. Wa yadfa’us sayyi-ati illa anta. Wa laa hawla wa laa quwwata illa billah] “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali engkau. Tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali engkau. Tidak ada daya dan upaya melainkan denganmu.”

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Referensi :
1. Faedah dari Durus Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syitsriy Kamis 17 Rabi’ul Awwal 1433 H di Jami’ Syaikh Nashir Asy Syitsri, Riyadh, KSA, dalam bahasan Kitab Tauhid, tema “Maa Jaa-a fii Tathoyyur.
2. Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh 'Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, terbitan Darul Ifta', cetakan ketujuh, 1431 H.
3. I’anatul Mustafid, Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Muassasah Ar Risalah.
4. Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Hamd bin 'Abdullah Al Hamd, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, 1431 H.

Sumber  :  www.rumaysho.com

6 KEUTAMAAN MENCARI NAFKAH

Kadang kita -sebagai suami- merasa lelah, capek sehingga banyak mengeluh. Pergi begitu pagi, pulang pun ketika matahari akan tenggelam, rasa lelah yang kita dapat. Kegiatan mencari nafkah sebenarnya suatu amalan yang mulia yang patut diniatkan dengan ikhlas sehingga bisa meraih pahala. Karena keutamaannya amat luar biasa, pahalanya yang besar, bahkan bisa sebagai tameng dari jilatan neraka.

Sebelum kita memahami keutamaan mencari nafkah, terlebih dahulu kita melihat bagaimanakah Islam mengajarkan prioritas dalam penyaluran harta atau penghasilan suami.

Prioritas dalam Pengeluaran Harta

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)

Ketika menjelaskan hadits di atas, Ibnu Battol rahimahullah menjelaskan:

Sebagian ulama menyebutkan bahwa pengeluaran harta dalam kebaikan dibagi menjadi tiga :

1. Pengeluaran untuk kepentingan pribadi, keluarga dan orang yang wajib dinafkahi dengan bersikap sederhana, tidak bersifat pelit dan boros. … Nafkah seperti ini lebih afdhol dari sedekah biasa dan bentuk pengeluaran harata lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu” (HR. Bukhari).

2. Penunaian zakat dan hak Allah. Ada ulama yang menyatakan bahwa siapa saja yang menunaikan zakat, maka telah terlepas darinya sifat pelit.

3. Sedekah tathowwu’ (sunnah) seperti nafkah untuk menyambung hubungan dengan kerabat yang jauh dan teman dekat, termasuk pula member makan pada mereka yang kelaparan.

Setelah merinci demikian, Ibnu Battol lantas menjelaskan, “Barangsiapa yang menyalurkan harta untuk tiga jalan di atas, maka ia berarti tidak menyia-nyiakan harta dan telah menyalurkannya tepat sasaran, juga boleh orang seperti ini didengki (bersaing dengannya dalam hal kebaikan).” (Lihat Syarh Bukhari, Ibnu Battol, 5: 454, Asy Syamilah).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al 'Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskan, “Sebagian orang tatkala bersedekah untuk fakir miskin atau yang lainnya maka mereka merasa bahwa mereka telah mengamalkan amalan yang mulia dan menganggap sedekah yang mereka keluarkan itu sangat berarti. Adapun tatkala mengeluarkan harta mereka untuk memberi nafkah kepada keluarganya maka seakan-akan perbuatan mereka itu kurang berarti, padahal memberi nafkah kepada keluarga hukumnya wajib dan bersedekah kepada fakir miskin hukumnya sunnah. Dan Allah lebih mencintai amalan wajib daripada amalan sunnah.” (Sebagaimana penjelasan beliau dalam Riyadhus Shalihiin)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mesti ada prioritas dalam penyaluran harta. Yang utama sekali adalah pada istri, anak, lebih lagi pada anak perempuan sebagaimana diterangkan dalam keutamaan mencari nafkah berikut ini. Setelah kewajiban pada keluarga, barulah harta tersebut disalurkan pada zakat dan sedekah sunnah.

Mengenai keutamaan mencari nafkah di antaranya dijabarkan dalam enam poin berikut ini :

Pertama: Nafkah kepada keluarga lebih afdhol dari sedekah tathowwu’ (sunnah)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995). Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka”. Dalam Syarh Muslim (7: 82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”.

Kedua: Jika mencari nafkah dengan ikhlas, akan menuai pahala besar

Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56). Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini pada masalah ‘setiap amalan tergantung pada niat’. Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa menuai pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih wajah Allah. Namun jika itu hanya aktivitas harian semata, atau yakin itu hanya sekedar kewajiban suami, belum tentu berbuah pahala.

Ketiga: Memberi nafkah termasuk sedekah

Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Keempat: Harta yang dinafkahi semakin barokah dan akan diberi ganti

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit.” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010). Seseorang yang memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam keutamaan hadits ini.

Kelima: Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah untuk keluarganya

Dari Anas bin Malik, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin” (HR. Tirmidzi no. 1705. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan, “Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia memperhatikan atau melalaikannya” (HR. Ibnu Hibban 10: 344. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Keenam: Memperhatikan nafkah keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka

‘Adi bin Hatim berkata, “Selamatkanlah diri kalian dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma” (HR. Bukhari no. 1417). ‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda, "Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka" (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).

Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengeluarkan hartanya untuk keperluan kedua anak perempuannya, kedua saudara perempuannya atau kepada dua orang kerabat perempuannya dengan mengharap pahala dari Allah, lalu Allah mencukupi mereka dengan karunianya, maka amalan tersebut akan membentengi dirinya dari neraka” (HR. Ahmad 6: 293. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if)

Dua hadits terakhir ini menerangkan keutamaan memberi nafkah pada anak perempuan karena mereka berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mencari nafkah, sedangkan perempuan asalnya di rumah.

Ya Allah, berikanlah kami taufik untuk mencari nafkah dengan ikhlas dan cara yang halal sehingga kami pun terbebas dari siksa neraka dan dimasukkan dalam surga.

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber : www.rumaysho.com

Kamis, 23 Februari 2012

AMAL BAIK DAN AMAL BURUK

Berikut ini saya coba sampaikan sebuah tulisan yang dikutip dari tulisan KHALIL AL-MUSAWI… Imam Ali berkata, “Hari ini adalah saat untuk beramal dan bukan saat untuk dihisab, dan besok adalah saat untuk dihisab dan bukan saat untuk beramal”.

Kalau demikian keadaannya, maka mulai sekarang marilah kita perbaiki hubungan kita dengan ALLAH SWT. Mari kita perbaiki urusan akhirat kita, dengan menjadikan dunia sebagai ladang bagi akhirat kita. Memperbaiki hubungan dengan sesama saudara dan sesama manusia adalah bagian terbesar dari memperbaiki urusan dunia, yang berarti memperbaiki juga urusan akhirat.

Orang atheis dan materialis berfikir bahwa kehidupan dunia adalah segalanya. Mereka menganggap pandangan yang mengatakan bahwa seseorang harus memiliki spiritualitas dan memperbaiki hubungan dengan Tuhannya supaya baik pula hubungannya dengan sesama manusia sebagai pandangan yang bodoh. Kehidupan mereka pun berubah menjadi sesuatu yang serba materialistis. Oleh karena itu, mereka tidak perduli jika mereka berbuat lalim atau menyakiti manusia lain.

Supaya hubungan Anda dengan sesama manusia menjadi baik maka Anda harus memperbaiki hubungan Anda dengan ALLAH SWT. Dan supaya hubungan Anda dengan ALLAH SWT menjadi baik maka Anda harus memperbaiki urusan akhirat Anda, supaya Allah pun memperbaiki urusan dunia Anda. Hubungan manusia dengan sesamanya merupakan medan yang sangat luas dalam urusan dunia, dan merupakan salah satu yang akan dihisab di alam akhirat.

Diceritakan bahwa seorang sholeh duduk sendirian di suatu kuburan. Saat sedang duduk, dia melihat jenazah yang diusung para pengantarnya untuk dikuburkan. Setelah menguburkan jenazah tersebut, para pengantar itu kembali dan meninggalkannya. Setelah itu, dia melihat seekor anjing berwarna hitam yang nampak buas berjalan ke arah tempat jenazah itu dikuburkan. Tidak berapa lama kemudian, pandangannya tertuju kepada seorang pemuda yang tampan, mengenakan pakaian berwarna putih. Pemuda itu juga menuju kuburan jenazah tersebut. 

Selang berapa waktu, orang sholeh itu melihat pemuda tampan itu kembali dengan pakaian yang terkoyak-koyak dan badan yang berlumuran darah. Orang sholeh itu pun segera bangkit dari tempatnya, dan bertanya penuh keheranan kepada si pemuda, “Apakah Anda perlu sesuatu? Apakah disana ada seseorang?”

Pemuda tampan itu pun berkata dengan berlinang air mata mengucur dari kedua matanya, “Sungguh mengherankan, Anda melihat akhirat, dan hijab telah tersingkap dari pandangan Anda”. Pemuda itu menambahkan, “Apakah Anda melihat jenazah tadi?”. Orang sholeh itu menjawab, “Ya”. “Apakah Anda juga melihat anjing hitam yang buas?”. Orang sholeh itu menjawab, “Benar”.

Pemuda itu berkata, “Aku adalah amal shaleh jenazah tadi, dan anjing hitam buas itu adalah dosanya. Ketika jenazah itu diletakkan di dalam kubur, kami berdua ditugaskan untuk menemuinya dan menjadi teman yang menemaninya hingga hari kiamat. Akan tetapi, dosanya lebih banyak dari ketaatannya, sehingga dosanya dapat melukai dan mengusirku. Dan sekarang anjing buas itu akan menemaninya hingga hari kiamat”.

Sekarang, apakah kita telah berfikir tentang diri kita secara baik-baik? Apakah kita telah mempertimbangkan hisab akhirat?

Semoga tulisan ini bermanfaat.. Aamiin

Sumber : http://kembanganggrek.com